Ta’rif (definisi) dan riwayat (sejarah
penyusunannya) Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia belakangan sering di
‘benturkan’ secara tidak proporsional dengan mushaf-mushaf terbitan luar
negeri. Beberapa kalangan memandang bahwa mushaf ini tidak memiliki
dasar argumentasi yang memadai. Sehingga tidak memiliki hujjah
yang kuat untuk diikuti dalam proses pentashihan dan penerbitan Mushaf
Al-Qur’an di Indonesia. Untuk menjawab sikap skeptis di atas, berikut
adalah sedikit pengantar terkait yang diharapkan dapat membuka kembali
wawasan bersama tentang mushaf Al-Qur’an hasil karya ulama Al-Qur’an
Nusantara melalui Mukernas Ulama Al-Qur’an dari tahun 1974-1983.
Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia
adalah “Mushaf Al-Qur’an yang dibakukan cara penulisan, harakat, tanda
baca dan tanda waqaf-nya, sesuai dengan hasil yang dicapai dalam
Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Ahli Al-Qur’an yang berlangsung 9 tahun,
dari tahun 1974 s/d. 1983 dan dijadikan pedoman bagi Al-Qur’an yang
diterbitkan di Indonesia.”
Penggunaan Mushaf Al-Qur’an Standar
Indonesia sebagai dasar dalam pentashihan dan penerbitan Al-Qur’an di
Indonesia di sandarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA). No. 25/1984
tentang Penentapan Mushaf Al-Qur’an Standar dan Instruksi Menteri Agama
(IMA). No.7/1984 tentang penggunaan Mushaf Al-Qur’an Standar sebagai
pedoman dalam mentashih Al-Qur’an di Indonesia.
Mushaf ini ditulis berdasarkan qira’ah
(bacaan Al-Qur’an) menurut riwayat Hafs bin Sulaiman bin al-Mughirah
al-Asadi al-Kufi dari gurunya, Imam Ashim bin Abi an-Najud al-Kufi
at-Tabi’i dari Abu Abdirrahman Abdillah bin Habib as-Sulami dari Usman
bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab,
semuanya bersumber dari Rasulullah SAW.
Rasm usmani mushaf ini mengacu pada
riwayat para imam ahli rasm dari lima salinan mushaf Usman yang
didistribusikan ke; Basrah, Kufah, Syam, Makkah, Mushaf al-Imam, dan
beberapa turunan dari salinan tersebut. Adapun afiliasi madzhabnya
adalah dengan tidak melakukan tarjih ar-riwayat (mengacu secara definitif pada riwayat tertentu) dari syaikhani fi-rasm,
baik riwayat Abu Amr ad-Dani (w. 444 H) maupun Abu Dawud Sulaiman bin
Najah (w. 496 H). Sehingga, dalam satu tempat kadangkala berkesesuaian
dengan riwayat salah satu dari atau keduanya, ditempat yang lain
kadangkala berbeda, dan terkadang juga berkesesuaian dengan pandangan
ulama di luar keduanya. Perbedaan tersebut pada umumnya dikembalikan
kepada pandangan Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Itqan fi ‘Ulumil-Qur’an, yang ke-hujjahan-nya dapat diterima dan karyanya masuk kualifikasi al-kutub al-mu’tabarah
(karya standar) dalam rasm usmani menurut Mu¥ammad Gau£ bin N±¡irudd³n
Mu¥ammad bin Ni§±mudd³n A¥mad an-N±'i¯³ al-Ark±t³ (ulama India–Pakistan
w. 1239 H/1823 M) dalam Na£rul-Marj±n f³ Rasmi Na§mil-Qur'±n.
Adapun untuk pemilihan harakat, dan
tanda baca mengacu pada keputusan Musyawarah Kerja (Muker) Ulama
Al-Qur’an I-IX/1974-1983 dan berdasarkan komparasi harakat dan tanda
baca dari beberapa model cetakan dari mushaf-mushaf Al-Qur’an cetakan
dalam dan luar negeri, seperti; Mesir, Pakistan, Bahriyah Turki yang
banyak beredar pada tahun 1970-an.
Sementara penyederhanaan tanda waqafnya adalah dengan mengacu pola tanda waqaf hijazi
yang berjumlah 7 simbol, karena dianggap lebih ringkas dan tidak
kontradiktif dalam peletakan dan fungsinya. Sebagai ganti pola tanda
waqaf ghairu hijazi (non-Hijaz) yang memiliki 12 simbol, yang terkadang banyak menumpuk dalam satu tempat.
Perhitungan jumlah keseluruhan ayat Al-Qur’an mengikuti hitungan al-Kuffiyun
(penduduk Kufah, Irak) berdasarkan riwayat dari Abu Abdurrhaman
Abdullah bin Habib as-Sulami dari Ali bin Abi Thalib sebagaimana
tersebut dalam kitab al-Bayan fi ‘Addi Ayil-Qur’a, yakni berjumlah 6236 ayat.
Pembagaian 30 juz dan penghitungan
hizbnya yang berjumlah 60 serta pembagaian rub’ dalam setiap juznya
mengikuti mushaf Bombay yang sudah lama beredar di Indonesia.
Keterangan foto dokumentasi
Mukernas Ulama Al-Qur’an I/1974 di Ciawi Bogor Jawa Barat yang menjadi
titik tolak lahirnya Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia pada tahun
1983/1984:
(dari kiri ke kanan) HB. Hamdani
Aly, Kepala Lembaga Lektur Keagamaan Departemen Agama, KH. Sayyid Yasin
Aceh, KHM. Abduh Pabbajah Sulawesi Selatan, KH. Hasan Mughni Marwan
Banjarmasin Kalimantan Selatan, KH. Nur Ali Bekasi Jawa Barat, KH.
Abdusy Syukur Rahimi Ambon, KH. Ali Maksum Krapyak Jogjakarta, KH.
Ahmad Umar Mangkuyudan Solo Jawa Tengah, dan KH. A. Damanhuri Malang
Jawa Timur (duduk) E. Badri Yunardi, BA. dan Al-Humam Mundzir, BA,
(keduanya dari Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Jakarta.
Sumber: Dokumen Badri Yunardi
kemenag.go.id
0 komentar:
Posting Komentar