Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
Kosakata yang digunakan umumnya digunakan pula oleh masyarakat Arab pada
masa turunnya, tetapi gaya susunannya yang bukan prosa dan bukan pula
puisi, serta keindahan nada yang dihasilkannya menjadikan pakar-pakar
bahasa Arab ketika itu mengakui, mereka tidak mampu menandingi keindahan
bahasa Al-Qur’an.
Al-Qur’an, sekalipun menggunakan
kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya, namun
pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan
pengertian-pengertian yang populer di kalangan mereka. Al-Qur’an dalam
hal ini menggunakan kosakata tersebut, tetapi bukan lagi dalam
bidang-bidang semantik yang mereka kenal. Sehingga tidak jarang kosakata
Al-Qur’an berubah pengertian semantiknya dari kata-kata yang digunakan
oleh orang Arab. Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini telah
memberikan pengertian baru bagi kosakata-kosakata yang juga digunakan
oleh Al-Qur’an.
Makna-makna semantik ini menjadikan
sementara pakar menolak penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa lain,
atau paling tidak menamai terjemah-annya sebagai ’terjemahan makna’
bukan ’redaksi’. Implikasinya, tejemahan Al-Qur’an tidak sama dengan
Al-Qur’an, apalagi menggantikan posisinya. Fazlurrahman mengungkapkan,
”Keagungan dan kemuliaan Al-Quran begitu padat, sehingga tidak ada
terjemahan dalam satu bahasa Eropa pun yang bisa menggantikannya.”
Bahkan Muhammad Abduh, penggagas tafsir yang bercorak adab al-ijtima’i menjelaskan bahwa satu kata dalam Al-Qur’an paling kurang memiliki lima makna.
Al-Qur`an memiliki kosakata yang unik.
Keunikan ini terletak pada banyaknya kata yang ambigu, yang tidak jarang
satu kata memunyai dua atau tiga arti yang berlawanan. Satu huruf saja
bisa mempunyai lebih dari satu arti sesuai dengan kata yang
menyertainya. Misalnya huruf ”waw”. Pada umumnya berarti ”dan”, tapi
bisa juga bearti ”demi” bila dipakaikan untuk kata-kata sumpah. Namun,
bisa juga ditemukan satu kata yang hanya mempunyai makna pasti saja.
Problem transmisi makna dari teks arab Al-Qur`an ke dalam bahasa
selainnya, kemudian menjadi ’critical point’ bagi peminat studi
Al-Quran.
Dalam hal ini, seseorang tidak bebas
untuk memilih pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu
kosakata pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang. Seorang
mufasir atau penerjemah, di samping harus memperhatikan struktur serta
kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, juga harus
memperhatikan penggunaan Al-Qur’an terhadap setiap kosakata, dan
mendahulukannya dalam memahami kosakata tersebut daripada pengertian
yang dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan secara umum tidak dibenarkan
untuk menggunakan pengertian-pengertian baru yang berkembang kemudian.[]
0 komentar:
Posting Komentar